![]() |
Picture by Pixabay.com |
“Kamu itu emang
gak pantes buat aku! Aku gak bakal ngebayangin hidup tua ama kamu kayak gini.
Sumpah, aku waktu bujang gak abis pikir” Ujar suami berusia setengah abad
kepada istrinya yang 3 tahun lebih muda.
“Astaga ya
Tuhan, aku lebih baik berantem berantem sekalian kayak tetangga sebelah,
daripada kayak kamu. Kesel diem, marah diem, awas busuk tuh hati. Kalo marah ya
marah lah, gak usah sok-sok diem kayak gitu.” Ujar sang suami setelahnya.
“Mas kan aku
kemaren udah bilang. Kalo naro sikat gigi itu udah ada wadahnya, jangan asal
taro aja di dalem kamar mandi” Ujar sang istri di lain hari.
“Lah kapan kamu
ngomomgnya?”
“Kemaren, pas
kamu nonton tv.”
“Yaampun, ya
mana aku denger lah, aku ya fokus nonton tv. Kamu sih ngasih tau yang penting
sambil kamunya jalan, bukannya berhenti dulu."
Pertengkaran yang
sangat sepele. Si suami hanya tak senang istrinya menerima telepon dalam waktu
yang lama, sementara si istri ini sedang memasak. Kasus lainnya, si suami
merasa kesusahan mencari barang-barang dirumahnya sendiri. “Mana sih, Ta
(Mareta, panggilan suami ke istrinya), nyari kuali aja susah banget.. Dirumah
aku sendiri loh.. Naro barang itu jangan pindah-pindah lah”
Tersebutlah
Alena. bocah kecil berusia belasan tahun yang hanya terpaku melihat kedua
orangtuanya bertengkar bak kucing dan anjing. Hampir setiap hari pemandangan
itu dilihat, didengar, dan masuk dalam hatinya. Hatinya terlalu dini untuk
menerima semua pil pahit ini. Diam-diam tanpa sepengetahuan orangtuanya, ada
trauma hebat dalam hatinya. Semua hal tentang pernikahan, komitmen, bukanlah
hal indah dalam benaknya. Menyakitkan, pedih, dan pilu. “Kalau menikah hanya
menambah derita, mengurai nestapa, mengapa itu harus ada?”
(Lampung, 2008)
Hanya karena
mereka berdua tak memahami masing-masing karakter bawaan “PRIA & WANITA”. Menurut
buku tentang perbedaan wanita dan pria dengan judul “Mengapa PRIA tidak bisa
mendengarkan dan WANITA tidak bisa membaca peta?” karya Allan Pease dan Barbara
Pease, secara singkat, wanita dan pria memang diciptakan berbeda. Bukan untuk
menandingi satu sama lain, tapi untuk melengkapi. Bila kedua insan ini tak
memahami karakter bawaan satu sama lain, yang ada hanyalah pertengkaran yang
tiada ujung. Ya bagaimana geh, bila masing-masing pihak mempertahankan egonya masing
masing, lantas dimana titik temunya? Andai saja pria dan wanita dapat saling memahami
karakter masing-masing, niscaya titik temu itu akan melahirkan keharmonisan.
Wanita itu
lembut, perasa, dan mudah sakit hatinya. Sekali saja kamu, wahai pria,
menghujam hatinya dengan kata-kata pedas, ia memang akan mudah memaafkan, tapi
seumur hidup takkan pernah bisa ia lupakan. Dan baiknya seorang wanita, sesakit
hati apapun ia dengan perkataan suaminya, tak terbesit sedikitpun dalam
benaknya berdoa yang buruk-buruk untuk pria yang terkadang tak henti
menyakitinya.
Jadi memang,
untuk menikah tak hanya butuh CINTA. CINTA adalah bahan bakar yang akan cepat
habis bila dijadikan bahan bakar utama dalam bahtera rumah tangga.
Aku yang
diceritakan kisah ini geleng-geleng saja. Sudah 10 tahun berlalu, kini gadis
kecil itu telah tumbuh menjadi wanita dewasa, dan setiap aku bertemu dengannya
seperti tak ada beban dalam raut wajahnya, Tapi matanya, matanya takkan pernah bisa
berbohong. Ia menyimpan sejuta rahasia. Doakan saja semoga baik-baik saja. Akan
ku bujuk dengan caraku agar ia tak keberatan untuk menceritakan kisahnya. Lalu
ku bagikan dipostingan selanjut-selanjutnya. Ohya, sekedar informasi, Alena
adalah bukan nama sebenarnya. Nama asli disamarkan untuk melindungi privasi
narasumber.
[DINUKIL DARI KISAH NYATA]
1 Komentar
Mau berbagi perspektif juga soal cerita di atas.
Saya mengalami seperti yang diceritakan.
Menurut saya, pernikahan itu bukanlah sesuatu hal yang membahagiakan.
Lebih banyak "lelahnya" daripada "bahagianya".
Setiap hari pasti ada saja kerikil-kerikil kecil yang menusuk.
Hanya ingin menjalani hari ini tanpa cekcok saja itu sudah menjadi perjuangan yang sulit.
Dan akhirnya...
Terpikir dalam diri bahwa:
Mempertahankan pernikahan saja itu suatu kesulitan.
Fisik lelah, namun psikis jauh lebih lelah.