![]() |
Masa kecil bersama kakak sepupu. Sekitar tahun 1998/1999 |
Menjalani masa-masa banyak dirumah aja selama masa pandemi COVID-19 ini membuat saya teringat dengan kenangan-kenangan masa lampau.
Sewaktu kamu kecil pernah tidak kamu kepikiran ingin cepat-cepat dewasa saja?
"Kamu kan masih kecil, jadi belum boleh."
"Anak kecil enggak boleh ini.. Gak boleh itu."
Ujar orang dewasa sewaktu usiamu masih bocah alias dibawah 17 tahun.
Lebih ekstrimnya lagi, saya ingat waktu saya masih kelas 2 SMP,
saking peningnya saya dan kawan-kawan ngerjakan PR Matematika, kawan saya sampai bilang,
"Ih susah ya beban anak SMP ini, enakan jadi ibu rumah tangga aja."
Hahaha pada masa masa polos itu kami belum tertawa dengan ucapan itu. Tapi kalau diingat-ingat lagi, lucu juga ya..
Dalam tataran kampus, acapkali dalam perkumpulan yang kamu baru bergabung di dalamnya (tentunya didukung dengan kamu yang masih menjajaki semester semester awal), kamu merasa muda. Tak sedikit pula organisasi / perkumpulan yang menyebut golongan ini sebagai, "Keluarga Muda". Biasanya para senior / petinggi kampus menyebut mahasiswa yang baru masuk dengan sebutan junior, dan junior yang baru masuk menyebut kakak tingkat mereka dengan sebutan senior (yaeyaaallaaaah Aminah!) :D Tahun kedua setelah kamu konsisten di organisasi internal kampus, kamu akan 'naik jabatan' jadi anggota departemen atau kalau kamu dinilai cukup berkontribusi kamu akan diperhitungkan untuk menduduki posisi pimpinan. Begitipun tahun-tahun berikutnya, semakin kamu konsisten, berkontribusi, dan visioner untuk kedepan, karirmu dikampus akan cemerlang, secemerlang senyum peps*dent hehe bukan ngiklan.
Beda lagi tatarannya dalam dunia kerja, tentu lebih professional dong. Beda lagi juga dalam tataran umum (Lembaga Swadaya Masyarakat, LSM, komunitas, perkumpulan, instansi, lembaga diluar kampus). Bedanya apa? Kalau di kampus kita cenderung bertemu orang orang yang homogen, apalagi memang mempunyai tujuan yang sama dalam ikut suatu organisasi internal kampus. Misal, ikut kerohanian kampus, yang tertarik kesana ya tipikal orangnya sama-sama percis lah sebagian besar. Atau BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa), mahasiswa yang ikut BEM biasanya memang orang-orang yang suka tantangan, bisa bekerja dibawah tekanan, dan senang berinteraksi serta berkolaborasi. Maka tak jarang kita temui BEM adalah sebagai promotor atau garda terdepan dalam hal-hal yang menyangkut isu nasional, isu lokal, dan isu kampus. Juga organisasi-organisasi internal kampus yang lain, seperti: Paduan Suara Mahasiswa, Pers Mahasiswa, UKM Bahasa dan Seni, dan lain sebagainya. Orang-orang yang bergabung didalamnya pun memang orang-orang dengan minat yang sama, masih punya banyak waktu untuk mengeksplor banyak hal.
Sedangkan di dunia kerja dan umum? Orang-orang dengan kepala yang sudah lebih 'terisi' dan berasal dari beragam latar belakang, meski kalau sudah tergabung punya tujuan yang sama juga, namun akan lebih sulit karena berbeda latar belakang itu tadi, juga pasca kampus sudah beda lagi goalnya, bukan lagi belajar dalam kolam renang, tapi sudah harus bisa terjun langsung ke luasnya samudra. Pada bahasan berikutnya saya akan terfokus pada bahasan "dituakan-dimudakan" dalam tataran kampus, karena masa-masa itulah yang masih membekas diingatan, yang paling lama saya jalani setidaknya hingga postingan ini diunggah.
Pengalaman Saat Menjadi yang Dimudakan
Saat menjadi keluarga muda, semangatmu masih full tangki untuk mencoba hal-hal baru, menjajal setiap kesempatan yang ada, mengikuti seluruh agenda-agenda kampus khususnya yang ada sertifikat, makan siang, goodie bag, dan segala fasilitasnya (wkwkwkw.. pengalaman pribadi penulis). Segala hal menjadi sebuah kesempatan yang seakan sayang untuk dilewatkan. Dimintain tolong senior kesana kesini, oke. Menjadi 'prajurit' teknis dalam kepanitiaan acara kampus, oke. Membantu dosen walau hanya sekedar meng-input nilai mahasiswa, oke. Diajak kawan nongkrong kesana-sini, hayuk. Tanggungjawab ke organisasi masih biasa saja, karena lebih mengandalkan kakak tingkat, seolah olah kita akan tetap seperti ini dan takkan ada pergantian pengurus :D
Hal lain yang selalu terngiang ngiang adalah 'perasaan saat jadi mahasiswa baru'. Bahasa mudahnya, kelakuan masih SMA ehh tapi udah jadi anak kuliahan, disebut juga dengan masa-masa transisi. Nah masa-masa transisi ini banyak banget perasaan campur aduk saat jadi mahasiswa baru. Apalagi pikiran-pikiran mengenai gambaran perkuliahan yang terdoktrin dari Film, TV, Youtube, semakin memberi sumbangsih pada pikiran untuk bertanya-tanya..
1. "Dari sekian banyak mahasiswa baru disini, apa salah satunya akan jadi jodoh gue ya?"
Ngaku kalian! Sewaktu maba pernah kayak gini juga kan? Wkwkw. Ku akui saja hal tersebut sempat terlintas dalam pikiranku dan tambah menjadi-jadi saat berada pada agenda dimana keseluruhan peserta adalah mahasiswa baru (misal: agenda orientasi kehidupan kampus tingkat Univ, tingkat Fakultas, maupun tingkat Jurusan. Atau agenda pelatihan diklat bidikmisi, agenda seminar-seminar di GSG.). Perasaan yang sulit untuk dilukiskan. Kalau kata penyair seperti kupu kupu yang terbang dalam perut kwwkwkw
2. "Nanti gue bakal jadi apa ya dikampus ini?"
Sewaktu saya ngampus dulu familiar banget dengan sebutan Kupu-kupu, Kura-kura, Kuda-kuda, Kunang-Kunang.
-Dictionary-
Kupu-kupu : Kuliah pulang-kuliah pulang
Kura-kura : kuliah rapat-kuliah rapat
Kuda-kuda : kuliah dagang-kuliah dagang / kuliah dakwah-kuliah dakwah
Kunang-kunang : kuliah nangkring-kuliah nangkring
Saya sebagai manusia yang enggak mau kalah, enggak mau dong dibilang kupu-kupu. Ego yang kadarnya masih sebesar pendakian mount Everest meluap-luap, kobaran api semangat yang masih sangat terang dan menyala, membuat diriku hanyut tenggelam dalam kesibukan agar tidak dikatakan kupu-kupu. Sebelum pada akhirnya tersadar untuk lebih mengurangi ego untuk tidak merasa bahwa pilihan kita adalah yang juga terbaik bagi orang lain, dan menghargai satu sama lain.
3. "Gue harus gimana biar jadi asik ke semua kalangan?"
Satu hal yang saya sesali ketika masa SMA telah lewat dan masa perkuliahan didepan mata saya baru berpikir, "Kenapa dulu gue SMA kagak asik sih ngobrolnya! Kaku beet kayak kanebo kering, kalo enggak pelajaran yang diobrolin, pasti hapalan, ya pelajaran maneh pelajaran maneh." Tapi kini saya tersadar itu adalah hal yang wajar dirasakan. Gak hanya saya. Kalau kalian ngerasain itu juga, itu wajar banget bagi kita guys. Kalau kita merasa diri kita masih kaku dalam sebuah obrolan dengan orang lain, itu disebabkan karena beberapa faktor: Kurangnya literasi, kurangnya bahan obrolan, jarang berdiskusi dengan orang lain, atau kurang jauh maennya. Dan masa-masa kuliah adalah masa-masa yang tepat untuk melengkapi kurang-kurang itu. Kalo kurang-kurang itu udah kamu lengkapi dan kamu temukan dimasa-masa kuliah, kamu enggak akan lagi bingung caranya memulai diskusi dan bikin diskusi jadi asik. Buktiin aja.
Sebagai manusia yang tidak sempurna, kita tentu ingin terus menerus memperbaiki diri setiap harinya. Saat kuliah saya bertekad untuk bisa cocok di semua kalangan a.k.a bisa nyambung kalau sedang berinteraksi ke semua orang (meski tak dipungkiri saat masa-masa kuliah kita takkan bisa menghindari namanya geng-geng'an dalam satu angkatan). Tapi satu kesalahanku saat itu. Kesalahan yang pastinya kita jadikan pelajaran. Saya terlalu ingin menyenangkan semua orang yang notabene itu takkan pernah bisa manusia manapun lakukan. Nabi Muhammad yang sudah demikian baik dan teladan bagi umat manusia saja masih ada yang benci beliau dengan melemparkan *maaf* kotoran kok.
Setiap orang punya kepribadian uniknya masing-masing dan memang sudah sewajarnya kalau ada orang yang kurang srek, ada gesekan-gesekan kecil. Yang terpenting kita tetap jadi diri kita sendiri supaya kita nyaman juga menjalani kehidupan kita dengan catatan tetap dalam koridor agama. Terkungkung dalam ekspektasi "dia harus memperlakukan gue seperti gue udah baik sama dia" juga adalah sebuah kemustahilan yang utopia. Gak semua kepala sama isinya kayak kamu. Gak semua orang baca apa yang kamu baca. Gak semua orang memiliki cara yang sama kayak kamu. So, diskusi dan obrolan yang spesifik memang gak bisa dijangkau sama kepala semua orang.
Pengalaman Saat Menjadi yang Dituakan
Saat sudah beberapa semester dan pergantian kepengurusan dikampus, kamu yang sudah dinilai punya sense of belonging dengan sebuah organisasi internal kampus baik tingkat Jurusan, Fakultas, maupun Universitas, akan menjadi kandidat terkuat untuk menggantikan posisi pengurus sebelumnya. Perasaan yang dirasakan pun campur aduk. Antara senang karena sudah naik level, dan takut karena takut ndak bisa mempertahankan hal-hal baik dari kepengurusan sebelumnya dan jatuhnya malah jadi lebih buruk.
Senang sudah naik level jelas, karena sebagai seorang yang selalu ingin berkembang tentu kita akan merasa resah berada di zona yang itu itu saja, tak ada progress. Maka sudah seyogyanya mendapatkan amanah yang lebih tinggi kedudukannya menjadi booster dalam melejitkan softskill kita. Tapi sobat, dilain sisi, ada rasa takut menghantui, rasa minder menyergap, dan rasa tidak sanggup membayang-bayangi. "Gimana ya kalo nanti aku gak sebagus kakak itu -mimpin-nya?". Bagi koin mata uang yang punya dua sisi, dalam hal ini memang lumrah perasaan kita menjadi dua sisi. Tapi sisi mana yang paling dominan, itulah yang akan menjadi pemenangnya dalam merajai hati. Terus yang jadi pertanyaan sekarang, gimana sih caranya supaya kita berani melangkah, dan langkah kita itu mantep?
Saya dari dulu mempercayai bahwa kita ini enggak hebat, tapi Allah lah yang memudahkan urusan-urusan kita. Jadi first of all, perkuat hubungan kita dengan Allah, minta petunjuknya (berdo'a), dan selalu cek niat kita kapanpun, karena terkadang niat senantiasa berbelok-belok, dan hanya dengan niat yang lurus, jalan menuju tujuan akan semakin dekat dengan kita. Setelah itu, ikhtiar. Ikhtiar penting setelah dibarengi dengan perkuat hubungan kita dengan Allah. Kita cari cara supaya dapat fokus memaksimalkan potensi kita dan lebih bagus lagi kalau kelemahan kita bisa berbalik arah jadi potensi terbaik kita, maybe someday ini akan menarik untuk dibahas lebih dalam. Doakan penulis masih punya usia untuk menuliskannya, aamiin. Daaaan yang ketiga alias the last but not the least: Tawakal! Ada ikhtiar sebelum tawakal dan ada tawakal setelah ikhtiar. Kita serahkan semuanya sama Allah. Niat yang baik, doa yang baik, berusaha yang terbaik, hasil akhir biar Allah yang tentukan.
Ohiya malah jadi gak fokus nih ya share pengalaman tentang saat menjadi dituakan hehe. Oke. Jadi pengalamanku saat jadi yang dituakan dalam kata lain: 'senior', kita akan senantiasa diandalkan dalam keadaan apapun, dianggap bisa segalanya, dianggap tahu ini itu. Well, kadang nyebelin sih karena jadinya berasa kita diandalkan banget ya, tapi itulah resikonya saat menjadi dituakan hehe
Lantas, Posisi Mana yang Lebih Nyaman untuk Kita?
Seperti cerita pengantar di awal, dimana kawan saya yang ngeluhnya hingga berandai-andai ingin menjadi ibu rumah tangga saja, dia hanya berada pada posisi yang belum pernah ia rasakan hingga ia mengganggap kesulitan yang ada saat ini adalah kesulitan yang benar-benar tersulit yang pernah ada hingga akhirnya dia, dan kita pun tersadar, bahwa semakin bertambahnya umur kita tentu tantangan akan semakin besar, dan semua ini adalah tentang bagaimana kita menjadi pembelajar dalam hidup, berapapun umur kita. Harus kita selalu ingat bahwa kita hanya singgah didunia ini. Jangan sampai singgahnya kita tak meninggalkan kesan apapun. Dan bagi saya, merawat blog ini dari tahun 2013 adalah salah satu cara saya untuk menghasilkan legacy yang kelak ketika saya sudah tidak ada didunia ini, keturunan-keturunan saya bisa membaca ini dengan leluasa dan memetik pelajaran dari kisah nenek buyutnya. Menjadi yang dituakan atau dimudakan, saya lebih memilih menjadi pembelajar saja.
0 Komentar