![]() |
pict by pixabay.com |
“Suka-suka gue
lah! Hidup-hidup gue, mau ngapa-ngapain ya basing gue aja kan. Emangnya lo
sapeh?” Pernah banget saya mendengus kesal begini di dalam hati kala ada orang
lain yang mengintervensi urusan saya. Hanya mendengus dalam hati saya, tak tega
saya keluarkan ucapan tersebut, tak sampai hati saya. Tapi ya tetap saja saya
akui saya salah, saya belum menyadari kala itu bahwa hidup bukan hanya tentang
kita; seorang aku yang terjebak dalam dirinya sendiri. Yang katanya mau bebas
ndak perduli apa kata omongan orang, tapi terjebak dengan anggapan orang lain
dan menjadi budak bagi standar mode yang diatur oleh dunia. Sungguh ironi. Hal
itu terjadi saat ada kawan saya yang menasehati saya untuk tidak tempramental,
dan tidak mudah marah, maklum karena posisinya disitu saya senior SMA yang
sudah punya 2 tingkat adik kelas. Sampai pernah terlintas dalam pikiran saya
kalau saja saya orang kaya, saya ndak mau sekolah di sekolah negeri tapi nyatanya
banyak orang tua yang memasukkan anaknya disini dengan menyogok, reputasi
sekolah hancur karena sering tawuran, anak-anak nakal dari SMA lain seolah
pindah ke sekolah kami sekedar untuk “memperbaiki nama” padahal sama saja,
kalau dari individunya sendiri yang tidak ada kemauan untuk berubah ya takkan
berubah.
Salah satu ujian
terberat dalam hidup saya semasa SMA adalah menahan amarah. Saya merasa sepet,
jijik, males, bodoamat, dengan orang-orang yang susah diatur. Apalagi saya
konversi dari IPA ke IPS, bisa dibayangkan bagaimana “sok kompak” nya anak IPS.
Semasa SMA, saya merupakan orang yang sangat ambisius untuk menjadi nomor satu
dikelas dengan tidak juga meninggalkan organisasi yang telah memberikan saya
banyak pelajaran. Dengan mindset saya seperti itu, kawan-kawan saya SMA
(apalagi yang cowok) dengan mudahnya berkata, “Liat jawaban LKS ini sih.” “Liat
PR kamu sih, aku belum ngerjain.” Gak sekali dua kali saya ngamuk di kelas
karena saya “digangguin”, “dibully” kecil-kecilan. Mereka mengatai-ngatai saya
bahwa saya sering dispensasi keluar kelas tapi tetap bisa dapat nilai bagus,
dan mereka mengatakan saya pelit nilai kalau tidak memberikan contekan PR pada
mereka. Bukan apa-apa, saya lakukan itu semua supaya mereka sadar, bahwa perlu
usaha untuk mendapatkan sesuatu. Tujuan saya untuk dapat ranking satu juga
jelas kok, bukan hanya untuk membuat guru, orangtua, dan kawan-kawan saya
bangga, tapi saya ingin selalu ranking satu agar saya mempunyai kesempatan
untuk mendapat beasiswa Bidikmisi dan masuk Perguruan Tinggi Negeri jalur
undangan tanpa tes (yang saat itu disebut jalur SNMPTN). Saya sewaktu SMA saat
akan menuju kuliah bertekad, mau bantu sedikit orangtua saya yang selama ini
sudah membiayai hidup saya. Tapi diluar semua hal-hal yang menyebalkan itu,
tetap ada saja teman-teman yang memberi kesan baik pada masa SMA saya. Big
thanks for it :) Terutama untuk orang-orang di organisasi PMR, dan beberapa
teman yang sering berinteraksi dengan saya semasa SMA yang tidak bisa saya
sebutkan satu persatu disini. Semuanya penuh pelajaran berharga.
Dari kisah saya
tadi, dapat kita ambil kesimpulan bahwa dalam hidup kita akan selalu diuji.
Ujian tandanya akan naik kelas, bila berhasil dan lulus loh ya. Ya kalau belum
berhasil, ujian itu akan terus diulang-ulang sampai kita berhasil setidaknya
mencapai standar / KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal). Alhamdulillah kini semua
kenangan buruk semasa SMA itu perlahan-lahan termaafkan, dan saya bisa berdamai
dengan diri saya sendiri. Saya sekarang memaklumi apa yang mereka lakukan ke
saya, dan saya pun memaklumi apa yang saya lakukan pad mereka pada masa itu,
karena kami masih SMA. Aku yakin, kami sudah sama-sama berubah dan semakin tahu
bagaimana harus menyikapi sesuatu karena sudah 6 tahun berlalu dari masa-masa
kelulusan SMA. Masa-masa dimana belum cukup dewasa, namun juga tidak pantas
lagi disebut anak kecil. []
1 Komentar