Kita Lelah Berharap pada Manusia Part I


pict by pixabay.com

Ditengah keberagaman sifat manusia di muka bumi, tidak semuanya sepenuhnya sadar bahwa dalam penuntutan hak kita terhadap manusia lainnya, terdapat kewajiban yang juga beriringan untuk dipenuhi. Contohnya hak kita untuk berpendapat, hak kita untuk bersuara, hak kita untuk menghidupkan musik kencang-kencang, dibatasi oleh hak manusia lainnya. Agar apa? Agar tercipta keteraturan norma, keseimbangan antar hak dan kewajiban, dan untuk kerukunan antar umat manusia itu sendiri.
Dalam hidup ada norma-norma tertulis maupun norma tidak tertulis yang mengatur kehidupan kita. Norma norma tertulis termaktub dalam Al-Qur’an dan As-sunnah, buku-buku tafsir agama kita, undang-undang, peraturan suatu lembaga, organisasi, maupun instansi. Sedangkan norma tidak tertulis tidak secara nyata termaktub dalam catatan atau buku-buku, tapi adalah suatu etika yang berlaku dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Berdasarkan wawasan penulis selama 23 tahun menempuh hidup di dunia, alangkah banyak macam-macam etika yang dalam hal ini kita kerucutkan bahasan pada hubungan antar manusia (habluminannas). Baik itu etika sopan-santun dan menghormati kepada yang lebih tua, etika menghargai kepada yang lebih muda atau setara, etika dalam makan, etika dalam bertamu-menerima tamu, etika dalam meminta pertolongan-memberi pertolongan, etika berniaga, bahkan etika dalam bermedia sosial. Baiklah mari kita bahas secara global saja, dan lebih mengerucut ke pembahasan tentang etika bertamu-menerima tamu dan etika bermedia sosial.

Saya percaya bahwa Tuhan meng-anugerah-kan setiap manusia otak sebagai modal terbesar untuk mengelola kehidupan. Terhitung dari awal seseorang dalam fase baligh (laki laki mulai mimpi basah, dan wanita mulai mengalami mens) ia diberi petunjuk-petunjuk oleh Tuhan dalam pencarian jati diri dan jalan kebenaran. Tinggal bagaimana reaksi/respon dari manusia tersebut. Bila manusia merespon petunjuk tersebut jadilah ia menjadi manusia paripurna sesuai dengan rancangan Tuhan bahwa manusia adalah sebaik-baiknya bentuk makhluk hidup dan sebaik-baiknya ciptaan, karena memiliki akal. Bila ia mengabaikan “kode-kode” dari Tuhan, maka bisa kita tebak apa yang akan terjadi selanjutnya…
Semua etika yang saya sebutkan di dua paragraf sebelumnya adalah etika-etika umum dalam masyarakat, umum tapi tidak semua masyarakat perhatian soal ini ( dalam kurung kasi emot senyum terpaksa (-: ) Tanpa saya jabarkan disini, Anda-anda semua pembaca pasti sudah paham apa substansi dari tiap etika yang saya sebutkan diatas. Secara random, saya mau bahas tentang etika bertamu dan menerima tamu. Berdasarkan pengalaman empiris saya, ini saya bahasnya dari sisi orang lain terhadap kita ya, ada beberapa orang yang bertamu ke rumah dengan cara yang tidak sopan. Oke, jadi kondisi rumah saya itu terletak dijalan raya, di pinggir jalan, dan rumah saya juga sekaligus tempat usaha orang tua saya, yang menyebabkan pintu rumah akan selalu terbuka saat jam-jam aktif kerja. Meskipun begitu, harusnya ketika seorang datang untuk bertamu apapun kepentingannya, etika tidak tertulis mengharuskan untuk mengetuk pintu dulu, mengucap salam (ini etika umum sebagaimana kita tahu kan ya). Namun ada beberapa tamu masuk ke ruang tamu tanpa mengetuk pintu, tanpa mengucap salam, hanya ketok ketok aja. Ada juga yang ketok, mengucapkan salam, tapi gak sabar menunggu tuan rumahnya ke depan, padahal bisa jadi tuan rumahnya sedang nyuci baju, nyuci piring, ataupun proses mengumpulkan nyawa dari alam mimpi.
Lalu tentang menerima tamu. Saya sering berkunjung ke rumah kawan-kawan saya, rumah kakak tingkat, rumah mba tingkat, adek tingkat, rumah kawan kuliah, dsb tentunya dengan berbagai kepentingan, mulai dari kepentingan dunia-akhirat, kepentingan bisnis, kepentingan genting, kepentingan lembaga, kepentingan komunitas, atau sekadar main-main saja (tapi jarang sih kalau main-main kecuali memang antara saya dan orang ybs sedang senggang dan memang menisbatkan waktu untuk bersantai ria), dalam berbagai interaksi dua arah tersebut, tidak sedikit yang bertatakrama bagus sehingga saya sebagai tamu merasa tersanjung dan dihargai oleh sang tuan rumah. Tapi ada beberapa yang bikin malas berkunjung ke kediamannya. Seperti: saya ditanya terus pertanyaan dengan kalimat depan “Kapan?”. Okelah kalau hanya satu atau dua kali ndak masalah. Nah ini berkali kali setiap saya main ke kediaman orang ybs, saya ditanya begitu terus, seolah olah saya dibisiki seperti ini : “Nikah woy, besok kiamat”. Astaghfirullahaladzim.. -_-
Ada juga yang tipe saya bertamu nya lama, namun saya gak disuguhkan .. baca Part II nya disini:

Posting Komentar

0 Komentar