Meninjau Patriarkisme dalam Rumah Tangga

Pict by @adinuticious
 
PERINGATAN! Saya menulis postingan ini dalam keadaan emosi yang tidak stabil. Bila diparagraf selanjutnya kamu menemukan kata-kata KASAR, AMARAH, paradigma yang agak lebay, harap maklum. Saya menulis ini guna membuang sampah fikiran dalam kepala saya, selain karena untuk memaksa diri saya agar memperbaharui kembali postingan di blog saya setelah sekian lama saya tinggal. Besar kemungkinan tulisan ini akan direvisi kembali dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Sering ya kita dengar perkataan, “istri diuji ketika suami nya tidak memiliki apa-apa. Sedangkan suami di uji ketika ia memiliki segalanya”. Saya tanya dulu sih, sebenernya ini sumber pendapatnya dari siapa? Kalau mengingat-ngingat statement itu, kok rasanya enggak adil banget sih, wanita dapet susah-susahnya aja, laki-laki dapet enaknya, pernah mikir gitu gak? Well, saya adalah orang yang menghargai dan menghormati pria apalagi dia adalah calon suami dari kaum hawa. Tapi bukan berarti ketika saya nanti kelak menjadi seorang istri, saya akan menuruti semua yang diperintahkan suami saya. Saya berhak membantah, mengelak, dan menolak usulan suami saya dengan catatan: Pertama, apabila hal-hal yang diperintahkan dan digulirkan suami saya adalah hal-hal yang kurang baik di mata syariat, jelas saya merasa berkewajiban untuk mengingatkan. Kedua, hal ini dilakukan dengan hati yang damai dan cara yang baik-baik.

Pernikahan bukan hanya mengubah status, dari lajang menjadi menikah, bukan hanya menyatukan dua insan maupun dua keluarga, bukan juga hanya menjadi sarana pria untuk membelenggu istrinya bagaikan burung dalam sangkar emas, ataupun sarana wanita meminta nafkah yang berlebihan demi kesenangan pribadinya. Menikah lebih dari sekedar itu. Berbagi suka duka bersama, senasib, sepenanggungan, menjalankan kewajiban dan menuntut haknya masing-masing.

Nah, dalam konteks menjalankan kewajiban dan menuntut hak masing-masing ini, saya melihat ada kejanggalan yang biasa dalam masyarakat kita saat ini. Tahu apa? Dalam konteks kewajiban, paradigma konvensial dan konstruktif akan berkata, "Istri wajib untuk mengandung, melahirkan, mengurus anak, mengerjakan semua pekerjaan rumah; mencuci piring, mengepel, memasak, menggosok baju, dan ditambah lagi: mengurus semua keperluan suami." Lah ini diperistri untuk dijadikan pendamping apa pembantu?

Lalu masih dalam paradigma konvensial dan konstruktif, kewajiban suami adalah : Mencari nafkah, bersama-sama mendidik anak. Udah? See? Engga adil banget! Kalau begitu mekanismenya, lebih enak jadi pria dah! Itu paradigma konvensionalnya ya. Sesungguhnya dan sebenarnya mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga itu bukan kewajiban isntri, tapi kewajiban suami, istri yang baik pasti kana membantu suaminya. Dan suami yang baik, engga akan rela ratu hatinya itu menjadi lebih cepat tua dan keriput dikarenakan hanya untuk mengurus rumah. Suami yang baik pasti mengizinkan istrinya juga untuk membantu mencari nafkah, menyediakan pembantu dirumah untuk mengerjakan tugas tugas rumah.

Kalau wanita dibiarkan mendekam dirumah terus menerus sementara potensi dalam dirinya bisa lebih besar dari itu, why not? Hanya karena pernikahan jangan sampai membatasi gerak-gerik wanita untuk aktif seperti sebelum menikah. Justru relationship goals adalah ketika antara suami dan istri saling mendukung kegiatan satu sama lain, saling support, dan diharapkan dengan bersatunya dua insan ini, diri mereka bisa sama-sama mengembangkan diri, bukan melempem, dirumah terus. Setuju?

Posting Komentar

0 Komentar