Senin, 1 Agustus 2016
Aku benci semua ini. Aku benci dengan semua celotehan orang-orang tentang seseorang. Sulit untuk menampik bahwa i’m rejected all of this awkward. Semua serasa berada dalam warna abu-abu, tak jelas, buram, kabur, tak bisa membedakan mana yang hitam, dan mana yang putih. Tak bisa lagi mempercayai bahwa ini semua nyata. Ini zaman dimana seseorang yang mengikuti sunnah nabinya, diolok-olok begitu dahsyat. Media. Begitu licik membombardir dan memutar balikkan realita yang ada. Masyarakat awam dengan ke-awam-annya percaya begitu saja, tanpa menilik bahwa akan sumbernya saja sedemikian rapuh dan sanadnya saja bukanlah tergolong orang-orang yang ciri-cirinya tidak seperti yang Allah sebutkan dalam Al qur’an sebagaimana orang-orang beriman.
Aku benci semua ini. Aku benci dengan semua celotehan orang-orang tentang seseorang. Sulit untuk menampik bahwa i’m rejected all of this awkward. Semua serasa berada dalam warna abu-abu, tak jelas, buram, kabur, tak bisa membedakan mana yang hitam, dan mana yang putih. Tak bisa lagi mempercayai bahwa ini semua nyata. Ini zaman dimana seseorang yang mengikuti sunnah nabinya, diolok-olok begitu dahsyat. Media. Begitu licik membombardir dan memutar balikkan realita yang ada. Masyarakat awam dengan ke-awam-annya percaya begitu saja, tanpa menilik bahwa akan sumbernya saja sedemikian rapuh dan sanadnya saja bukanlah tergolong orang-orang yang ciri-cirinya tidak seperti yang Allah sebutkan dalam Al qur’an sebagaimana orang-orang beriman.
Aku tak pernah
membenci kehidupan ini, aku hanya membenci sifat-sifat buruk yang orang-orang
punya, termasuk sifat burukku. Kau tahu, hai kawan, arus media saat ini begitu
pesat, bisa mengubah orang yang semula baik menjadi buruk, ataupun sebaliknya.
Tahun 2016 saja sebegini parahnya, apalagi generasi yang akan datang, hei
apakabar kalian? Apakah masih ada ruang untuk kita saling berbagi ceria,
canda-tawa, bergembira bersama tanpa ada kepentingan apapun dimasa mendatang?
Aku, ajeng dini utami dari tahun 2016. Mungkin kamu yang membaca ini masih
berada pada tahun 2016 ini, atau mungkin... Tahun 2020, tahun 2025 atau
bahkan.. 2030? Waaah, salam dariku, dari masa lalu.
Aku rindu pada
era 2000 awal, dimana kata mutiara sangat sulit ditemukan, informasi sulit
untuk dicari, dan foto-foto manusia tidak mudah dilihat sembarangan oleh orang
yang belum dikenalnya. Masih ingat sekali, ada seorang pria yang bahkan rela
menunggu waktu hingga sore tiba di ruang informasi sekolah demi mendapat sebuah
foto close up pujaan hatinya berukuran 3 x 4, itupun masih belum berwarna,
hanya grayscale. Dulu mendapat sms
tausiyah senangnya bukan main, kata-kata mutiara itu saya catat dan tulis di
buku Big Boss, masih tersimpan rapih hingga sekarang. Ini menandakan bahwa
zaman dahulu kata-kata mutiara sangat dijunjung agung, hingga menulisnya adalah
sebuah keniscayaan, terutama implementasi dari kata mutiara itu sendiri.
Informasi adalah sebuah hal yang mahal, didapatkan dengan susah payah, hingga
membelah hujan, melawan badai, namun satu hal, kita jadi lebih tahu
kredibilitas sebuah informasi.
16 tahun
berlalu.. Kalimat penyemangat sangat mudah ditemui, motivator-motivator ulung
menjamur di seluruh penjuru negeri, buku-buku motivasi pun tak ubahnya seperti
bacaan masa kini. Apalagi informasi, sangat mudah didapat hanya dengan
mengetikkan kata kunci di kotak pencarian, maka akan nampak rank pencarian dari
1-100. Informasi yang paling benar dan akurat belum tentu berada di nomor 1.
Informasi bisa dikemas sedemikian rupa, bisa dioptimasi sedemikian rupa hingga
berada di rank 1, terlepas informasi itu benar atau kah tidak. Lalu apa yang
terjadi? Sangat mudah kita temui informasi apapun saat ini, dari siapapun.
Teknologi broadcast, forward, dan share telah bisa membuat informasi sampai ke
setiap pengguna smartphone dalam hitungan detik. Namun apa sebenarnya benang
merah yang dapat ditarik dari semua ini? KEBENARAN. Kebenaran adalah sesuatu
yang sulit ditemukan. Sulit didapatkan. Apalagi jika hanya bersumber dari,
“katanya, kata dia, kata mereka”. Halah sudah-sudah lagi.
Bang Tere Liye
pernah berkata, “Kita boleh benci atas kehidupan ini, boleh kecewa, boleh
marah. Tapi ingatlah nasihat lama, tak ada pelaut yang merusak kapalnya
sendiri, akan ia rawat kapalnya, hingga dia tiba di pelabuhan terakhir.” Jadi,
jangan pernah rusak kapal kehidupanmu :)
Satu lagi, sebenarnya
kita tidak perlu menggapai seluruh catatan hebat menurut versi manusia sedunia.
Kita hanya perlu merengkui rasa damai dalam hati kita sendiri (Tere Liye)
0 Komentar