Aku berhijrah
melalui proses yang tidak singkat, juga dengan perjuangan yang tidak mudah. Sempat
disepelekan keluarga, tidak didukung bahkan caci maki saat perilaku yang
tertampil tak sesuai dengan apa yang aku kenakan. Padahal, didunia ini tak ada
satupun wanita yang sempurna. Aku tidak sempurna, sungguh tidak. Akhlakku masih
harus diperbaiki sana-sini, amalanku cacat, jiwaku kering-kerontang, hidupku
serasa berantakan. Meski tanggal 17 Agustus sudah terlewati, aku belum
merasakan kemerdekaan itu. Masih terpenjara dalam pola fikir “Aku buruk.. Aku
buruk..”
Aku sadar aku
tak sebaik yang terlihat, namun tak pantaskah aku meraih secercah cahaya itu? Hijabku
memang sudah masuk kategori syar’i, namun tidaklah lebar selebar dirimu wahai
saudari yang disana. Saat bertemu dalam satu agenda, dan meski kau hanya
melihatku tanpa berkata-kata, tapi aku mengerti tatapan itu! Ya jilbabku memang
tak menjuntai panjang sampai ke tanah tidak seperti dirimu, ya aku memang jarang
menggunakan gamis, ya aku memang suka menggunakan baju dan hijab bermotif, lalu
apa arti tatapan itu? Menatap sinis dari ujung jilbab sampai kaoskaki.
Aku sadar,
sangat sadar, aku belum menguasai tajwid 100%. Bukankah hidup adalah
pembelajaran yang berkesinambungan? Aku akui kau fasih tajwid dan tahsin. Apakah
semua kekurangan yang aku punya menjadi penyebab kau menganggapku remeh? Mengganggapku
sebelah mata? Selalu bermuka singut saat aku ingin belajar mendalami islam. Apa
aku salah? Apa pertanyaan yang aku ajukan terlalu bodoh? Apa aku tak pantas
mendapatkan cahaya itu? Lantas apa artinya semua ilmu yang kamu miliki, dimana
letak hakikat ilmu? Bukankah keberkahan ilmu yangs sesungguhnya adalah saat
pencari ilmu berbagi ilmunya pada orang lain tanpa merasa bahwa dirinya cukup
ilmu? Bukankah begitu? Tentu kau yang lebih tahu akan hal ini, saudariku.
Based on true
story. Ada seorang perempuan yang cerita pengalaman mereka ke saya.
0 Komentar