Curahan Hati Seorang Akhwat Pemula


Pict by pixabay.com
Aku berhijrah melalui proses yang tidak singkat, juga dengan perjuangan yang tidak mudah. Sempat disepelekan keluarga, tidak didukung bahkan caci maki saat perilaku yang tertampil tak sesuai dengan apa yang aku kenakan. Padahal, didunia ini tak ada satupun wanita yang sempurna. Aku tidak sempurna, sungguh tidak. Akhlakku masih harus diperbaiki sana-sini, amalanku cacat, jiwaku kering-kerontang, hidupku serasa berantakan. Meski tanggal 17 Agustus sudah terlewati, aku belum merasakan kemerdekaan itu. Masih terpenjara dalam pola fikir “Aku buruk.. Aku buruk..”

Aku sadar aku tak sebaik yang terlihat, namun tak pantaskah aku meraih secercah cahaya itu? Hijabku memang sudah masuk kategori syar’i, namun tidaklah lebar selebar dirimu wahai saudari yang disana. Saat bertemu dalam satu agenda, dan meski kau hanya melihatku tanpa berkata-kata, tapi aku mengerti tatapan itu! Ya jilbabku memang tak menjuntai panjang sampai ke tanah tidak seperti dirimu, ya aku memang jarang menggunakan gamis, ya aku memang suka menggunakan baju dan hijab bermotif, lalu apa arti tatapan itu? Menatap sinis dari ujung jilbab sampai kaoskaki.

Aku sadar, sangat sadar, aku belum menguasai tajwid 100%. Bukankah hidup adalah pembelajaran yang berkesinambungan? Aku akui kau fasih tajwid dan tahsin. Apakah semua kekurangan yang aku punya menjadi penyebab kau menganggapku remeh? Mengganggapku sebelah mata? Selalu bermuka singut saat aku ingin belajar mendalami islam. Apa aku salah? Apa pertanyaan yang aku ajukan terlalu bodoh? Apa aku tak pantas mendapatkan cahaya itu? Lantas apa artinya semua ilmu yang kamu miliki, dimana letak hakikat ilmu? Bukankah keberkahan ilmu yangs sesungguhnya adalah saat pencari ilmu berbagi ilmunya pada orang lain tanpa merasa bahwa dirinya cukup ilmu? Bukankah begitu? Tentu kau yang lebih tahu akan hal ini, saudariku.

Based on true story. Ada seorang perempuan yang cerita pengalaman mereka ke saya.

Posting Komentar

0 Komentar