Seorang pelancong siap menyelam lautan di taman laut bunaken dengan segala keperluan menyelam yang sudah terpasang pada tubuhnya. Mulai dari pakaian selam, tabung oksigen, sepatu katak, sampai kacamata dan lampu dahi. Untuk semua ini dia sengaja memilih kualitas nomor satu. Lalu byur! Ia menyelam. Beberapa saat di kedalaman 10 meter ia melihat pemandangan luar biasa. Ribuan ikan tertebar dalam bentuk, rupa, warna, ukuran dan jenis yang tak sanggup dihinggakan. Dalam hati pemuda ini bersyukur. Beberapa saat kemudian pemuda ini melihat sesosok tubuh bercelana kolor berkaos oblong berenang riang. “Hebat!”, gumamnya. Menyelam tanpa alat. Mungkin ada sensasinya tersendiri.
Lanjut menjelajah di kedalaman 20 meter,
segalanya mulai remang-remang, gelap, lalu pelancong ini bertemu lagi dengan orang
yang tadi ia temui. “Luar biasa!” gumam penyelam kita. “Dua puluh meter dan dia
sanggup pulang balik ambil udara ke permukaan!”
Sekarang di kedalaman tiga puluh meter! Dan
rasa takjubnya kepada Allah begitu syahdu! Juga kepada orang itu! Si celana kolor
dan kaos oblong yang kini tegak dihadapannya, di kedalaman 30 meter! Tak sanggup
emnahan rasa kagum yang emmbuncah, ia beranikan bertanya sambil memeluk dan
berteriak di telinganya, “Pak, Hebat sekali ya! Luar biasa! Untuk sampai ke
kedalaman ini saya harus menyewa alat dan memakai macam-macam alat, juga tabung
oksigen yang berat banget! Bapak kok bisa sampai disini tanpa alat? Bagi saya,
bapak adalah penyelam terhebat di dunia!
Si Bapak menggapai-gapai. Dengan sisa
tenaga yang ia punya, ia berteriak di telinga penyelam, terdengar lirih, “Gua
tenggelam, Goblokkkk!”
_____________________________________________________________________
Dari kisah di atas terdapat dua manusia,
yang satu adalah penyelam dan yang satu lagi tenggelam. Yang membedakan
keduanya adalah kesadaran. Jika seorang yang menyelam disebut ‘sadar’,
sedangkan yang tenggelam disebut ‘lalai’.
Kesadaran membuat kita bisa
mempersiapkan diri dan perangkat-perangkat untuk menyelami lautan kehidupan
ini. Kesadaran membuat mata kita terbuka, tubuh lincah bergerak kesana kemari,
dan semua indera peka untuk merasakan berbagai keindahan hidup. Ketika mereka yang
tenggelam hanya mengutuk, gelagapan, dan kembung kesakitan dalam lautan nikmat
Tuhan. Mengapa manusia bisa bersyukur, beribadah, bersabar, dan beriman?
Jawaban termudahnya adalah karena ia sadar. Karena ia tidak lalai.
Tetapi sudahkah kita jalani hidup ini
dengan sepenuhnya sadar? Contoh kecil saja, saat kita shalat berjamaah di
masjid, ikut takbiratul ihram bersama imam, dan tiba-tiba sadar, “Wah sudah
salam toh?” Jasad kita teronggok berjengkang jengking di Masjid itu, tapi hati
kita entah kemana. Parahnya jika ketidaksadaran itu cukup panjang, hidup ini
pendek sobat, dan berujung pada penjemputan oleh malaikat maut. Sepertinya saat
itu tak ada lagi yang sempat tersadar, “Lho kok jatah hidup saya sudah habis?”
Lalu apa yang harus kita lakukan
sekarang? Sederhana. Sadarlah!
Di
lautan nikmat, dua makhluk berpisah,
Yang
satu tenggelam, yang satu penyelam.
Kau
tahu apa bedanya?
Sumber : buku kang Abik Catatan Seorang Santri
Sumber : buku kang Abik Catatan Seorang Santri
0 Komentar