Catatan Perasaan 07 Agustus 2015

pict by pixabay.com

Hahaha, begitu ingin mengawali menulis pada torehan tinta virtual pada kesempatan kali ini, banyak kejadian lucu terngiang di seluruh panca indera saya, memaksa saya untuk mengaktifkan semua indera ini. Bibir yang menyunggingkan senyum, mata berbinar diikuti tangan kanan mengepal berpelukan dengan hidung, serta pekikan tawa yang tak bisa ditahan.
Saya menertawakan diri saya sendiri. Begitu banyak hal bodoh setiap hari yang tanpa saya sadari seperti perlawanan internal. Entahlah saya pun bingung menyebutkannya seperti apa. Disatu sisi saya tak ingin takabur, ujub, apalagi riya, disisi lain saya juga tak ingin menjadi merendah. Bagaimana saya dapat berdiri seimbang? Sulit! Pertanyaan ini juga saya kategorikan sebagai pertanyaan sulit! Seperti banyak orang bertanya, “Bagaimana caranya istiqomah?”

Dan kau tahu, pernah suatu saat saya berfikir, manusia sudah kodratnya berbuat salah, iman kadang naik, kadang turun, naik karena ketaatan dan turun karena kemaksiatan. Berarti, kunci untuk membuka jalan yang lurus (istiqomah) tersebut adalah ketaatan! Hal ini tak kan berarti jika kau hanya mencari jawaban dari kausalitas keistiqomahan. Ya begitulah yang saya faham. Saya sebagai manusia pun tak luput dari rasa futur, malas, berleha-leha dengan waktu. Meski di suatu waktu saya rajiiiiiiiiin sekali, iman sedang bagus-bagusnya, saya tak bisa menjamin esok hari akan sama seperti saat ini. Ya Allah yang Maha Membolak-balikkan Hati, teguhkanlah hati kamu di atas Agama-Mu.
Balik ke topik awal ya, yaitu  tentang tertawa, hal ini mungkin saja sepele bagi yang lain. Namun tidak bagi saya pribadi. Semakin larut, semakin dianggap sepele, justru perkara ini makin membesar layaknya tumor ganas. Ada pepatah mengatakan “Saat ramai, hati-hati dengan ucapanmu. Sedangkan saat sendiri, hati-hati dengan fikiranmu.” Sungguh benar kata bijak itu. Tak sedikit dari kita sulit mengerem pembicaraan saat bersama orang lain, juga sulit untuk tidak “wild fantasy” saat sendiri. Contoh sederhananya saja, kita sering mengingat atau terpaksa teringat pada kejadian yang membuat kita menunduk tutup muka tahan malu, seketika hati memprovokasi mulut sehingga keluar perkataan, “Bodoh bener lah gueee ini! Hadeeeeeeeh malu gueee.” Pernah gak sob kayak begono? Hehehe ngaku aja deh!
Susah mengendalikan perasaan yang meluap-luap apalagi lingkungan yang tak acuh menanggapi problematika anggota spesiesnya. Saya akui, saya orang yang sangat ekspresif. Saat mendapat kabar gembira, saya akan melonjak kegirangan, berteriak sesuka hati. Namun saat kabar buruk datang, suasana hati tak tenang. Kalau sudah begini, tak bisa maksimal dalam pekerjaan. Ketika terjadi hal ini, satu-satunya yang membuat saya tenang adalah ditinggal sendiri sambil curhat pada Tuhan setelah membaca petunjuk-Nya. Pernah suatu hari saya melewati kerumunan cowok-cowok tanggung terong-terongan nan tengil,
“Hai ceweeek, assalamu’alaikum”
“Waalaikumsalam.” Jawab saya, namun dalam hati.
Ingin rasanya saat melewati kerumunan seperti itu, saya pinjam jubah hilang doraemon sebentar agar saya tak dilihat oleh mereka. Atau menggunakan penghenti waktu, agar saya bisa melewati kerumunan itu tanpa mereka memperhatikan saya dari ujung atas jilbab sampai sepatu.
Tapi tak bisa! Sumpah, saya sangat membenci moment-moment seperti itu. Rasa malu ini begitu besar. Seketika pula, rasanya ingin hijrah ke pulau tak berpenghuni lalu holiday sebulan. Bisa diperkirakan ekspresi saya saat itu, dengan tatapan seolah merendahkan padahal tidak, saya berjalan cuek dan cepat melewati kerumunan mereka sehingga tercetuklah :
“Oi sombong banget sih!”

“Sebodoteing!” Dalam hatiku.

Posting Komentar

0 Komentar