![]() |
pict by pixabay.com |
Hari pertama ramadhan, rasa menggelora yang begitu merekah menyambut datangnya bulan suci nan berkah. Dimana istiqomah menjadi latihan dalam pertarungan dan kompetisi berlomba – lomba dalam kebajikan. Pahala di obral sebesar – besarnya, semua berbondong – bondong guna mengharap Ridha-Nya. Malam perdana shaum ramadhan ku habiskan untuk menjaga Ayah yang sedang sakit, aku tak berkesempatan untuk mencicipi nikmat ibadah tarawih malam pertama. Kasihan Ayahku, mungkin beliau lelah mencari nafkah seharian demi anak istrinya yang butuh asupan gizi baik materi maupun non materi. Bukan itu saja sebab musabab Ayahku jatuh sakit, melainkan juga karena kebiasaan buruknya yang susah di kontrol -merokok-. Ingatlah, merokok takkan pernah membuatmu bergaya, justru ia membuatmu tidak berdaya. Jangan sekali kali mencobanya, karena sekali saja kau mencobanya, rasa candu untuk mencoba lagi akan semakin besar dan semakin besar saat tiap kali kau mencicipi nikotin menggodanya. Yah itu sebuah teguran dari Allah bagi Ayahku agar beliau menghentikan kebiasaan buruknya itu. Alhamdulillah, sejak hari pertama sakit beliau tidak sekalipun merokok lagi.
*****
Beberapa hari yang
lalu, tanggal kabisat bulan Juni..
Ayah
terlihat tercekat seperti susah untuk berbicara, hanya bisa mengisyaratkan
melalui tangan yang menunjuk nunjuk sekaligus membetuk bulatan di sekitar
bibir. Aku mengerti apa yang beliau mau. Seketika aku ambil air mineral dari
dapur.
“Ini
Yah minum dulu ya”
(Meminum
perlahan – lahan)
“Ayah
kenapa?”
(Ayah
diam tanpa kata. Ia tak menjawab apapun. Masih mengumpulkan kesadarannya untuk
berkata sesuatu)
“Uhuuk..
uhukk..” Petir besar terdengar gemuruk dari kerongkongan Ayah.. Tak berhenti
henti bagai sang halilintar murka pada bumi yang tak becus menjaga kelestarian
alamnya.
“Yaudah
Ayah di rumah aja, biar Dini yang jagain Ayah, besok hari pertama Dini gak
teraweh dulu.. Dini jagain Ayah ya”
Ayah
hanya menggangguk tanda setuju.
*****
Suasana ramai jalanan
setiap hari menjadi langganan pendengaranku, meski tanpa di minta, tanpa di
suruh, tanpa di jemput, ramai jalanan tak habis habis berkeliaran di sekitar
area salah satu dari lima indra ini. Entah karena diriku sudah biasa atau
memang aku terlahir untuk menjadi orang yang tak terlalu alergi pada
kebisingan, tak ku anggap masalah besar saat tengah malam pun suasana gaduh
kendaraan roda dua maupun roda empat berlalu lalang di depan rumah. Justru aku
menikmatinya, bagai harmoni alam yang menyatu dengan indahnya, perpaduan suara
bercak orang - orang yang tengah dalam perjalanan bersama kendaraan pribadi
kesayangannya dengan suara angin yang samar terdengar menjadi menu pendengaran
untuk bersyukur atas indra pendengaran yang diberikan sempurna oleh Allah SWT.
Di temani suasana ramai
itulah aku bersama Ayahku, menjaga beliau, berjaga – jaga bila beliau butuh
pertolongan walau hanya sekedar meminta di ambilkan gelas, bersama air botol
juga tentunya.
“Din.. Pijitin Ayah,
Din”
(Ku renggangkan tangan,
satukan jari tuk mengisi seluruh ruang – ruang hampa sampai tak bisa terintip
oleh mata, ku angkat tangan ke atas sekadar relaksasi dan .perenggangan otot –
otot yang kaku agar lemas dan siap untuk menjadi pemijat amatiran yang tak
seberapa mengecewakan. Ku mulai memijat Ayah dengan hati hati agar terasa enak
dan tidak terlalu kuat memijat.)
“Yah cepet sembuh ya..
Dini sayang Ayah, makanya Dini gak mau Ayah lebih parah dari ini. Di kurangin
ya Yah ngisep rokoknya. Percayalah Yah ini semua ada hikmahnya. Saat Ayah
sakit, gusti Allaah mengangkat dosa – dosa Ayah. InshaAllaah :)”
Karena tak ada respon,
aku berujar kembali
“Yah.. Ayaaaaaah?”
Lagi-lagi beliau hanya
diam. Ku tatap wajahnya yang penuh kelelahan, beliau telah berpijak ke alam
mimpi. Yasudahlah. Garis garis kerutan sangat nampak pada wajahnya yang sudah
tak lagi muda. Tanpa ku sadari, tetesan air memaksa keluar tanpa mau antri dari
kedua bola mataku. Ayah, lagi – lagi aku merasa belum melakukan apapun untukmu
sampai sekarang. Aku menangis tanpa suara sejadi – jadinya. Ku tumpahkan semua
perasaanku malam ini.
Ayah
dengarlah Ananda, Ananda sangat sayang terhadap Ayah. Suatu saat nanti Ananda
akan buktikan bahwa Ananda bisa membuat Ayah bangga meski kesuksesan Ananda
takkan bisa membalas semua kasih sayang dan pengabdian yang telah Ayah berikan
kepada Ananda. Ananda akan buktikan Ayah akan tetap tersenyum bersama Bunda di
masa senja. Tertanda, anakmu, Dini. Aku
ucapkan itu dalam hati. Semoga ikatan batin yang kuat di antara kami bisa
menyampaikan pesanku padanya.
*****
“Din, tunggu..” seru
seorang mbak – mbak yang tak lain dan tak bukan adalah Mbak Ika, tetangga
sebrang rumahku.
Ia berjalan dengan
anggun, lebih tepatnya takut jatuh dan tergelincir. Ia sudah mengenakan mukena
sejak dari lokasi kediamannya.
“Ayo, Mbak..”
Ku ambil posisi paling
belakang barisan dalam posisi sholat fardhu isya dan sholat tarawih bersama
Mbak Ika. Ada yang aneh di sekeliling. Saat kultum disampaikan, tak ada satupun
anak kecil yang memegang setia pena lantas menggoreskan tinta hitam di atas
putih dari setiap ucapan sang penceramah. Tak ada sama sekali. Ramadhan macam
apa ini, fikirku.
“Din
liat bentar sih buku Ramadhan nya, aku belum nyatet ceramah tau dari hari
pertama”, seru salah satu temanku yang baru di ramadhan ke 15 ini kelihatan
batang hidungnya di mushola.
“Iya
sabar dikit, aku juga banyak yang belum nih..”
Masih belum kering dari
ingatanku, beberapa tahun silam saat masih gencar – gencarnya sekedar
menumpahkan tinta hitam di atas putih guna memenuhi syarat nilai Agama dalam
kurikulum pendidikan formal baik tingkat Dasar, Menengah Pertama maupun
Menengah Atas. Namun saat ini? Ku tanyakan pada salah satu anak kecil disana,
“Dek, kok gak ngisi
buku Ramadhan?”
“Orong dari sekolahku
gak dibagiin buku Ramadhan lagi kok, Mbak”
3 hari
kemudian setelah aku berpuasa, tiba-tiba malamnya setelah pulang dari solat
tarawih, tenggorokanku sakit, seperti ingin di garuk tapi takbisa karena
letaknya yang tak bisa di jamah. Ku putuskan untuk tidak berpuasa pada esok
harinya. Aku fikir sakit tenggorokan ini
hanya berlangsung 1-2 hari, ternyata aku salah. 7 hari kemudian sakit
ini baru sembuh. Meski begitu, aku tetap beribadah seperti biasa dan
melanjutkan tilawah qur’an ku.
Yah dan
anehnya, setelah sembuh dari sakit tenggorokan, aku belum juga ‘diizinkan’
untuk melaksanakan kewajiban berpuasa. Bukan karena sakit, ini lain lagi
ceritanya. Ramadhan kali ini aku berhutang banyak, puasa yang benar-benar
terlaksana pun hanya 11 hari dikarenakan banyak halangan rintangan yang
menghadang. Dan yang terakhir adalah tanggal 23 Juli kemarin aku kecelakaan di
tabrak mobil dari arah belakang, yang menyebabkan aku harus berdiam diri di
rumah selama 1 minggu lebih.
Bandar Lampung, Juni 2014, saat Ramadhan Menggema
0 Komentar